Proses pendidikan yang bermutu
ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan
lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth
(1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu
terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)
keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2)
partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3)
proses belajar-mengajar yang efektif,
4)
pengembangan staf yang terpogram,
5)
kurikulum yang relevan,
6)
memiliki visi dan misi yang jelas,
7)
iklim sekolah yang kondusif,
8) penilaian diri terhadap kekuatan dan
kelemahan,
9)
komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang tua dan
masyarakat secara instrinsik.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu
pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan
secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria
tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam konteks pendidikan, pengertian
mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input
pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi
sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu
mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta
didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur
dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya,
dan moral kerjanya.
Berdasarkan konsep mutu pendidikan
maka dapat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada
penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor
proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam
batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis
meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient
condition to improve student achievement).
Selama tahun 2002 dunia pendidikan
ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan
dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang
satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung
pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas
(PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC),
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti
EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap
pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.
Fenomena yang menarik adalah
perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis
(based).
Bila diamati lebih jauh, perubahan
yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang
populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah pemberdayaan
(empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan
sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak saja label-label perubahan
yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional (kadang-kadang
dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management),
peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), kurikulum
berbasis kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan
berbasis kompetensi (competence based teaching/training), pendidikan berbasis
luas (broad based education), pendidikan berbasis masyarakat (community based
education), evaluasi berbasis kelas (classroom based evaluation), evaluasi
berbasis siswa (student based evaluation) dikenal juga dengan evaluasi
portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local based educational management),
pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based educational
financing), belajar berbasis internet (internet based learning), kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.
Fullan & Stiegerbauer (1991: 33)
dalam “The New Meaning of Educational Change” mencatat bahwa setiap tahun guru
berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda
dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan
banyak guru mengalami stres dan jenuh.
Supriadi (2002:17) mengatakan:
“orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap
perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan,
memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga
dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai
substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu
akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan
banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu
inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan
dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah percepatan dapat saja
dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang
dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Kami menilai bahwa banyak inovasi
pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar
prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba
tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang
linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan, dan
secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar